top of page
Search

Tweet Your Mind




Januari 2021, Cerita Pendek oleh Bpk Widada, HRD Manager


Kapankah kau terakhir merasa bahagia, kawan ? Kapankah itu ? Apakah kemarin, saat ini, atau bahkan belum pernah sama sekali. Kalau kau termasuk pada golongan yang terakhir, maka sedikit sama denganku.

Aku juga sedang mencari apa sebenarnya bahagia itu. Aku hanyalah seorang pekerja biasa. Aku tidak mempunyai mobil yang mewah. Atau rumah yang megah. Aku merasa tidak sebahagia seperti yang lainya.

Bisa jadi sebenarnya kita sudah bahagia, mungkin saja. Namun ketika melihat kebahagiaan orang lain, sepertinya kita merasa tak sepadan. Masih kurang. Kita tak sebahagia mereka.

Ah, mungkin saja itu hanya perasaanku saja yang salah. Kawan, sini, akan kuceritakan sesuatu kepadamu. Ada sebuah cerita yang pernah diceritakan oleh kawanku kepadaku. Cerita tersebut adalah seperti ini.

***

Cerita I

Saat itu hujan tiba-tiba turun. Lebat sekali. Ternyata kali ini tidak diawali dengan mendung hitam dan geledek bertubi-tubi seperti biasanya. Mendadak saja, tetiba titik - titik air turun dari langit tanpa permisi. Akhirnya, kuputuskan saja langsung pulang sore ini. Padahal pekerjaanku di sawah belumlah usai.

“ Ayo, mak kita pulang. Besok kita lanjutkan lagi”

Langsung kupotong sebatang daun pisang sebagai alat peneduh buat kami berdua. “Ayo, Pak” Jawab istriku dari kejauhan. Ia segera berlari mendekatiku.

Kugamit tangan istriku dengan tangan kiriku. Sementara tangan kananku memegang ujung daun pisang. Kulihat rona istriku. Ia masih tampak seperti biasanya. Garis ayunya masih sama seperti dulu ketika aku bertemu denganya untuk pertama kalinya. Pertemuan kedua, aku langsung melamarnya.

Tiba-tiba sebuah motor melaju dengan kecepatan yang lumayan kencang. Hampir saja ia menyerempet istriku jika beberapa detik saja aku telat menariknya. Kami berpelukan di tengah hujan serta baju yang sedikit kebasahan. Ah, mungkin saja mereka ingin cepat sampai di rumah. Ada anak yang menunggu mereka sehingga mereka menaiki motor sekencang itu.

“Pak!”

“Kapan ya kita punya motor seperti mereka” Kata istriku. Aku hanya diam. Ia tidak sedang menagih. Ia juga tidak seperti meminta kepadaku. Ia hanya sedang berharap, andai saja keluarga kami seberuntung mereka.

“Pasti enak ya. Kita tidak akan berlama-lama di jalan. Tidak perlu berjalan kaki. Kita akan cepat sampai rumah. Dan pastinya kita bisa menggunakanya untuk mengangkut rumput dari sawah”

“Dan, Bapak tidak perlu lagi memanggulnya di kepala”

“Pasti kita akan bahagia sekali”

Aku hanya tersenyum mendengar perkataan istriku. Diapun sebaliknya. Aku tidak menjawabnya. Diapun juga tidak sedang menunggu jawaban itu. Jangankan motor, untuk makan sehari-haripun kami harus mencari hutang ke sana ke mari. Gali lubang tutup lubang.

Kami terus berjalan. Aku memastikan bahwa daun pisang ini benar-benar melindunginya dari tetesan air hujan. Dan, saat ini aku hanya bisa memegang tanganya lebih erat lagi

***

Cerita II

Sudah setengah jam lamanya kami mengendarai motor ini. Ya, setiap hari kami berboncengan berdua ke pabrik. Aku dan istriku. Aku dan istriku memang kerja di tempat yang sama. Lebih tepatnya di pabrik yang sama. Sebuah pabrik tahu di kota kecil ini.

Motor kami memang bukanlah motor yang sehat. Itupun kami beli bekas dari temanku. Dan jangan lupa pakai nyicil juga. Meskipun begitu, paling tidak motor tersebut sudah membawa kami berdua berangkat dan pulang ke pabrik selama sepuluh tahun. Itu lebih tua dari usia putraku sekarang.

Motor tersebut adalah sejarah. Ia adalah cinta pertamaku sebelum wanita dibelakangku ini akhirnya menggantikan posisi tersebut.

Hujan seperti ini memang sudah biasa kami lalui. Namun sepertinya sore ini agak berbeda. Petir hadir di sana-sini seperti sedang berlomba menunjukkan siapa yang paling kuat di bumi ini.

“Mudah-mudahan saja tidak mogok ya Pah”

“Iya Ma”

Aku hanya bisa menenangkan istriku. Memang terkadang, bahkan lebih sering motor ini mogok di waktu yang tidak diduga-duga. Kami pernah akan dikeluarkan dari pabrik, hanya gegara sering telat masuk kerja. Hal tersebut karena motor ini ngambek tanpa sebab. Ia tidak mau jalan sama sekali.

Aku hanya berharap kali ini, tidak. Anak kami sedang menunggu di rumah sendirian.

Tiba - tiba sebuah mobil menyalip kami. Ia tiba-tiba sudah berada didepan kami dan melesat ke depan di tengah hujan yang semakin deras.

“Enak kali ya Ma kalau kita punya mobil seperti mereka. Kita bisa lebih cepat sampai rumah. Yang penting kalau panas, tidak kepanasan. Dan, kalau hujan kita tidak kehujanan seperti ini”

“Pasti kita akan bahagia sekali”

Aku menoleh ke wajah istriku. Kuperhatikan dia baik-baik. Sejenak mata kami bertatapan. Sedetik kemudian kami hanya tertawa bersama. Kami sedang menertawakan kehidupan kami sendiri.

“Awas lubang di depan pak !!”

***

Cerita III

“Jangan lupa materi presentasi-nya besok ya Bu Lina”

“Siap Pak”

Aku segera menutup telepon dari Bosku itu. Baru saja meeting usai tadi sore, sekarang sudah order pekerjaan baru lagi. Beginilah nasib seorang bawahan. Sudah waktunya pulang, masih saja harus memenuhi panggilan.

“Bisa lebih cepat lagi Pah”. Suamiku hanya memandangku. Ia tak menjawab karena sedang berkonsentrasi menyetir mobil butut kami. Matanya memandangku dengan tatapan yang tidak ramah.

Sebenarnya aku tahu kenapa ia tidak menjawab. Pasti kecepatan mobil ini sudahlah paling maksimal. Tidak bisa lebih. Pernah suatu ketika, kami paksa hingga akhirnya mobil ini kembali lagi ke tempat favoritnya, bengkel. Lagi dan lagi.

Alhasil, kamipun tidak pernah memaksa mobil ini untuk melaju dengan kecepatan lebih. Seperti ini. Ya, kecepatan yang seperti ini. Tidak boleh lebih sama sekali.

Mobil kami memang keluaran tahun lama. Sudah sekitar lima tahunan. Sepertinya memang perlu diganti dengan yang baru. Ah, andai saja. “Wuzzzzz”. Tiba-tiba sebuah mobil sedan kecil menyalip kami hingga langsung mendahului mobil kami.

Mobil tersebut tampak lihai sekali berjalan diantara jalan yang penuh lubang seperti itu. Ia juga tampak mewah dengan cat putih mengkilapnya itu. Mobil itu pasti kalau dibelikan mobil ini akan dapat sekitar empat buah.

“Wah, andai saja mobil kita seperti itu pah”

“Pasti perjalanan kita tidak akan selama ini. Kita Lebih cepat sampai rumah. Bisa makan malam. Dan pastinya akan lebih banyak waktu. Banyak hal yang kita bisa kerjakan. Termasuk juga tugas segambreng dari Big Boss-ku itu”

“Pasti kita akan lebih bahagia”

“Ma”

“Cukup!!”

Suamiku tak tahan lagi akhirnya. Ia marah. Tiba-tiba ia mengerem mendadak. Sebenarnya sudah biasa sih, aku tidaklah takut dengan kemarahanya saat itu. Aku lebih takut keadaan seperti saat ini. Iya, Mobil kami berhenti. Aku memang lebih takut kalau mobil ini marah dan mogok. Dan, ini akhirnya terjadi.

***

Cerita IV

Lelaki itu sendirian mengendarai mobil mewahnya. Ia tidak sedang ingin ditemani siapapun. Sebenarnya ia juga tidak mempunyai teman. Tapi lebih tepatnya, para bawahanya enggan untuk sekedar ikut naik mobilnya. Jadinya, setiap berangkat dan pulang ia hanya sendiri.

Seperti sore ini, ia hanya sendiri. Hanyalah sebuah earphone yang menemaninya lewat sebuah lagu-lagu yang tanpa lelah ia putar, dan putar lagi. Akhirnya ia melepaskanya. Ia sedang bosan. Sangat bosan sekali.

Ia menelpon istrinya. Tak ada jawaban sama sekali.

Hujan masih saja turun dan sepertinya tidak ada tanda-tanda akan berhenti. Entah mengapa kali ini ia ingin sekali menghubungi istrinya lagi. Ia mencoba menelpon istrinya untuk kedua kalinya. Lagi-lagi tidak ada jawaban yang ia bisa dapatkan

Ia masih saja takjub dengan sebuah kejadian yang dilihatnya sebelumnya. Padahal kejadian itu sudah sekitar setengah jam yang lalu, namun ternyata masih mengganggu pikiranya. Ternyata ia masih memikirkan hal tersebut. Hal itu adalah hal yang sangatlah langka terjadi di dalam kehidupanya. Ia dan istrinya.

Beberapa waktu yang lalu, ia melihat sepasang suami istri yang berjalan berdua di tengah hujan deras. Mereka hanya berlindung dengan sebatang daun pisang. Anehnya, tangan mereka berpegangan erat satu sama lain. Erat sekali.

Pemandangan itu sungguhlah menakjubkan bagi lelaki dalam sebuah mobil mewah itu.

Ia masih penasaran dengan sepasang suami istri itu. Lelaki itu kemudian menoleh mereka, ia memperhatikan sekilas. Suami istri itu tampak mesra sekali. Tawa mereka senantiasa menghiasi di wajah mereka. Mereka tampak bahagia sekali.

“Kapan ya aku punya waktu bersama dengan istriku. Seperti mereka. Paling tidak satu jam saja dalam satu hari. Kalau saja itu bisa, alangkah bahagianya diriku”.

Lelaki itu mencoba menelpon istrinya untuk yang ketiga kalinya. Hanya nada yang sama berulang lagi. Pikiranya masih melayang-layang tak karuan. Ia termenung. Dan semakin termenung dalam mobil itu.

Ia semakin menambah laju kecepatan mobilnya. Ia hanya berharap cepat sampai rumah. Ia ingin malam ini, sebelum tidur, ia ingin sekedar duduk berdua, berpegangan tangan dan bercerita dengan istrinya tentang hari ini.

Rasanya sudah lama sekali hidupnya hampa.

***

Begitulah kawan cerita tersebut. Apakah kau sudah bahagia dengan keadaanmu sekarang ?


15 views1 comment

Recent Posts

See All
bottom of page